Friday, July 28, 2006

Kunjungan Sosial di desa Pidpid dan Dukuh

Pada hari Minggu tanggal 2 Juli 2006 pengurus IHKA Bali kembali mengadakan acara kunjungan social.Acara kunjungan social ini sebenarnya merupakan program kerja IHKA Bali untuk bulan Juni. Namun karena kesibukan para pengurus maka kegiatan ini diundur satu minggu dan baru bisa terlaksana pada hari minggu 2 Juli 2006. Namun demikian kegiatan ini terbilang sangat melelahkan karena yang menjadi tujuan adalah dua keluarga yang tidak beruntung di dua desa yang belokasi di kabupaten Karangasem, daerah yang terletak di ujung timur pulau Bali.

Pengurus yang ikut hadir pada Kigiatan ini adalah bapak Arya Pering , bapak Sugiarta, Ketut Tusan, Ketut Gunartha, pak Supriyanto dan bapak Jineng.

Di samping itu kegiatan ini diikuti oleh beberapa staff partner kerja dari CBM, Kimberly Clark, dan Calmic. Kimberly Clark mengirim dua staff sekaligus dengan mobil pick up untuk mengangklut barang sumbangan, Calmic mengirimkan 5 staff berikut kendaraan dan konsumsi, begitu juga CBM mengirim dua staff beserta makanan ringan untuk sarapan pagi di kendaraan.

Semua peserta berkumpul dan berangkat dari parkir Sanur Paradise Plaza and Suite pada jam 08;30 pagi melalui jalan By Pass Baru. Sebuah perjalanan yang cukup panjang namun berkesan karena melewati pemandangan menawan di sepanjang perjalanan terutama ketika kita tiba di daerah Tirta Gangga yang penuh dengan terasering sawah bertingkat khas Bali serta bukit hijau di kejauhan. Pemandangan alami ini membuat perjalanan yang jauh ini terasa sangat menyenangkan, karena kita merasakan seperti sebuah perjalanan wisata.

Keluarga pertama yang kita kunjungi adalah Keluarga bapak Tebel yang terletak di desa Pipid, kecamatan Abang Karangasem. Setelah bertanya kepada beberapa orang akhirnya kami bisa menemukan rumah beliau yang amat teramat sederhana. Kami semua merasa terenyuh melihat keadaan rumah keluarga ini. Di sebuah pulau Bali, yang terkenal dengan pulau Sorga, bergelimang dolar dan kemajuan karena pariwisata ternyata masih menyisakan keluarga yang baik dinding maupun atap rumahnya terbuat dari palpalan daun Kelapa. Bisa dibayangkan bagaimana keluarga ini melawan dingin di malam hari. Hanya ada satu bangunan yang bertembok batako yang merupakan sumbangan dari pemerintah daerah Karangasem. Keterenyuhan kami semua ternyata belum cukup. Bapak Tebel, sang empunya rumah membuat kami tersentak. Beliau keluar dari kamar dengan kursi roda bantuan seseorang karena penyakit lumpuh yang beliau derita sejak dua tahun terakhir. Penyebabnya adalah karena terjatuh dari pohon kelapa ketika memanjat untuk memetik buah kelapa yang merupakan pekerjaan beliau sehari – hari. Sejak saat itu nyaris tidak ada yang bisa beliau lakukan untuk mendapatkan penghasilan penyambung hidup.
Di tengah keharuan kami semua, Istri beliau datang dari mencari air di sungai dan membuat kami semua tersentak untuk kedua kalinya. Kami semua terdiam ketika ibu renta ini membopong anaknya yang bernama Made Budi dari dalam kamar. Anak yang berumur sekitar 17 tahun ini juga mederita kelumpuhan dan kedua kakinya tidak bisa diluruskan. Yang membuat kami kehilangan kata adalah badannya yang sangat kurus. Terlihat hanya kulit yang menbungkus tulang yang rapuh. Pipinya yang begitu cekung, bibirnya yang membiru dan kering, matanya yang selalu berair dan terasa pedih. Hampir tiada kata yang bisa kami ucapkan. Hanya keprihatinan yang bisa kami sampaikan. Bantuan berupa uang, beras, mie instant, selimut dan pakaian yang kami serahkan terasa begitu kecil dibandingkan berat beban keluarga ini. Namun bagaimanapun juga kami berharap bisa sedikit meringankan kesedihan keluarga ini. Baik bapak maupun ibu Tebel sangat terharu menerima bantuan kita. Keduanya menyampaikan terima kasihnya yang dalam. Merasa terabaikan oleh tetangga, kerabat, warga sekitar, dan warga desa karena tidak pernah memberikan bantuan, kedatangan kita merupakan penyejuk hati mereka karena ternyata ada orang yang tidak mereka kenal namun tulus memberikan bantuan.
Meninggalkan desa pipid kami menuju desa Dukuh masih di wilayah kecamatan yang sama. Di sini kami memberikan bantuan kepada I Nengah Mertayasa yang tinggal hanya dengan ibunya di sebuah gubuk sederhana. Sebenarnya Mertayasa adalah seorang anak yang sudah berumur belasan tahun namun masih terlihat seperti anak – anak karena menderita penyakit sejak kecil. Kakinya masih bisa berjalan namun harus menggunakan tongkat. Kepalanya membesar sejak kecil membuat pertumbuhannya tidak normal seperti layaknnya anak lain.
Bantuan kami berupa uang, beras, mie instant, selimut dan pakaian diterima oleh anak ini dengan kegembiraan. Dengan segala keterbatasan anak ini tersenyum dan mengucapkan terima kasih dengan bahasa Bali halus.
Kigiatan ini menyadarkan kita bahwa masih banyak saudara kita yang sangat membutuhkan uluran tangan kita. Masih banyak saudara kita di pulau surga ini merasa hidup seperti di neraka. Tugas kita sebagai manusia makhluk sosial untuk berbuat semampu kita untuk mereka. Agar konsep "Tat Twam Asi" tidak hanya kita baca, ucapkan maupun dinyanyikan dalam lagu. Agar "Tri Hita Karana" tidak hanya menjadi wacana kosong saat seminar di gedung megah. Agar semboyan "segilik seguluk sebayantaka" tidak hanya menjadi kata – kata yang kehilangan makna. Sekecil apapun yang bisa kita perbuat masih tetap berarti. Bukankan “ Sekelumit dalam perwujudan masih jauh lebih baik dari pada segudang tetapi hanya dalam bayang – bayang?”